”Deja Vu,” ini mungkin kata yang paling pas untuk menggambarkan tren beberapa indikator ekonomi Indonesia akhir-akhir ini. Seakan memutar ulang cerita sebelum crash tahun 2008, kita menyaksikan bagaimana harga saham melonjak 46%, rupiah menguat 4,5%, dan ekonomi yang tumbuh cukup solid di kisaran 6% pada tahun 2010.
Pada saat yang sama, kita juga mulai was-was terhadap meroketnya harga-harga komoditas terutama sejak pertengahan 2010. Hampir semua komoditas harganya telah melampaui rekor harga tahun 2008. Komoditas gula, palladium, kapas, perak dan jagung berturut-turut mencatat rekor kenaikan harga tertinggi (gula mencapai harga tertinggi dalam 30 tahun terakhir).
Yang paling merisaukan adalah kenaikan harga-harga pangan. Laporan FAO (Food & Agricultural Organization) baru-baru ini menunjukkan indeks yang merangkum 55 komoditas pangan sudah melampaui posisi tahun 2008. Di dalam negeri sendiri, kenaikan harga pangan terutama terjadi pada komoditas beras dan sayuran, sementara cabai pun dibicarakan di sidang kabinet karena harganya meroket.
Saya khawatir jika tren bullish tersebut berlanjut, pada akhirnya akan memicu krisis pangan global. Ujung-ujungnya gejolak sosial-politik dapat terjadi terutama di negara-negara emerging markets (EM) termasuk China dan India (Chindia) yang saat ini menjadi tumpuan penggerak ekonomi global (sebagai catatan, tragedi Tiananmen di China sedikit banyak dipicu oleh tingginya harga pangan pada akhir tahun 1989).
Hal ini tentunya berdampak negatif bagi Indonesia yang sekitar 15% ekspornya ditujukan ke Chindia dan sekitar 56% ekspornya berupa komoditas yang permintaannya tergantung kondisi global. Alhasil, kendati pemicunya berbeda (krisis 2008 dipicu krisis sub-prime mortgage), skenario tahun 2008 bisa kembali berulang (deja vu) dan pertumbuhan ekonomi pun kembali melempem.
Kombinasi penyebab
Menurut pandangan saya, penyebab terjadinya lonjakan harga komoditas bukan hanya satu faktor, namun kombinasi beberapa faktor. Faktor non-ekonomi berupa cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia dan hambatan di sisi pasokan dan distribusi merupakan salah satu tertuduh naiknya harga komoditas.
Selain itu, menjamurnya hedge fund (commodity funds) dan produk-produk derivatif berbasis komoditas turut memicu naiknya harga komoditas. Dengan memanfaatkan suku bunga murah dan kebijakan moneter akomodatif di negara-negara maju (strategi carry trade), investor memborong komoditas pangan, energi dan tambang.
Pemulihan ekonomi yang diikuti kenaikan output industri dan tren urbanisasi di negara-negara EM juga berperan dalam mendongkrak permintaan komoditas. Kebijakan stimulus fiskal dan moneter pasca krisis 2008 yang ditempuh Chindia mendorong terjadinya booming terutama di sektor properti. Sementara itu, tren urbanisasi memicu naiknya permintaan mobil, rumah dan barang-barang konsumsi lainnya sehingga permintaan baja, karet, alumunium dan lain-lain pun ikut terkerek naik.
Untuk kasus Indonesia, di samping faktor cuaca dan melonjaknya harga internasional, kenaikan harga komoditas tampaknya lebih disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur dan struktur pasar yang cenderung distortif.
Seperti di negara-negara berkembang lainnya, keterbatasan infrastruktur menyebabkan besarnya disparitas harga antar daerah. Sementara peran spekulator (oknum pedagang yang menguasai distribusi) juga dominan dalam menggoreng kenaikan harga-harga pangan di Indonesia. Pasar yang dimonopoli segelintir pemain memicu terjadinya kartel harga. Hal ini terindikasi dari tren harga yang terus merangkak naik kendati volume permintaan cenderung turun atau stagnan.
Antisipasi ke depan
Sebagai reaksi terhadap menguatnya tekanan inflasi dan harga komoditas khususnya pangan, kebanyakan bank sentral negara-negara EM bereaksi dengan menaikkan suku bunga patokannya (policy rate). Contohnya, China dan Korea Selatan sudah menaikkan suku bunganya sebanyak 2x. Brazil, Taiwan, dan Thailand sudah menaikkan suku bungannya sebanyak 3x, India bahkan sudah menaikkan suku bunganya sebanyak 6x.
Indonesia sendiri belum menaikkan suku bunga patokannya. Ada kekhawatiran aliran hot money akan kian deras membanjiri sistem finansial domestik jika suku bunga patokan dinaikkan –lihat blog sebelumnya “Hindari Bubble, RI perlu SWF.” Selain itu, pertumbuhan jumlah uang beredar hingga November 2010 juga masih tergolong rendah, tumbuh hanya 13,8% jauh di bawah angka pada akhir 2008 yang berada di kisaran 20%.
Secara umum, gelembung harga aset di sektor-sektor di luar komoditas (terutama properti) juga belum tampak. Sejauh ini, pembentuk inflasi di Indonesia memang sekitar 60% disumbang oleh volatile food, sehingga lonjakan inflasi yang terjadi dianggap temporer dan belum perlu direspons dengan kebijakan suku bunga.
Namun seperti yang saya jelaskan di atas, harga komoditas dunia berpotensi untuk bertahan di posisi tinggi. Pemerintah juga berencana untuk melakukan pembatasan BBM bersubsidi mulai Maret 2010. Tingginya ekspektasi inflasi tersebut biasanya juga diikuti oleh tuntutan kenaikan upah yang ujung-ujungnya akan mempengaruhi harga barang jadi.
Alhasil, inflasi inti pun akan cenderung naik. Kenaikan inflasi inti perlu diwaspadai karena karakteristiknya yang cenderung permanen dan kian membesar (spiralling effect) jika tidak diantisipasi secara tepat dan lugas.
Kita hanya dapat berharap potensi spiral inflasi tersebut dapat direspons oleh pemerintah dan otoritas moneter dengan koordinasi yang sinergis. Lonjakan harga pangan harus disikapi dengan bijak karena kebanyakan masyarakat masih bekerja hanya untuk makan (data Susenas BPS tahun 2009 menunjukkan 51% pengeluaran penduduk masih dihabiskan untuk konsumsi makanan).
Perbaikan struktur pasar, produktifitas, distribusi dan infrastruktur transportasi perlu menjadi prioritas dibandingkan wacana pemerintah untuk menghilangkan komoditas cabai dalam perhitungan inflasi.
Banyak negara yang mengalami persoalan akibat naiknya harga komoditas. Meroketnya harga gandum jadi masalah di Russia, bawang putih di China, tomat di Mesir dan Israel, Jagung di AS sedangkan kenaikan harga gula menuai protes di Pakistan. Namun, tak satu pun negara yang mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan atau mengurangi bobot komoditas tersebut dari perhitungan inflasinya.
Perhitungan inflasi harus berpedoman pada metode ilmiah berdasarkan survei pengeluaran masyarakat pada suatu periode tertentu. Jika metode perhitungan diubah semata-mata karena kepentingan jangka pendek, indikator inflasi akan menjadi tidak kredibel untuk dipakai sebagai acuan kebijakan.
No comments:
Post a Comment